Selasa, 17 Juni 2008

Cinta laki-Laki Biasa

Menjelang hari-H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;
Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah Indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "Maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"
Nania terkesima.

"Kenapa?"
“Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.”
“Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!”
“Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.”
“Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!”
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
"Nania cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya, Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'.
Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya, Nania
bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik dibelakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
“Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!”
“Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?”
“Rafli juga pintar!”
“Tidak sepintarmu, Nania.”
“Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.”
“Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.”
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang." Nania tak
bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang
berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?" Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
“Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.”
“Cantik ya dan kaya!”
“Tak imbang!”
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!"
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki
sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."
“Mungkin?”
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
“Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!”
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Qur’an kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, …. untuk Nania.

Senin, 16 Juni 2008

Indahnya kilau cahayamu...


Ada seorang malaikat, yang telah berani mempertaruhkan kejujurannya untuk mempertahankan dan menjaga kokohnya ISLAM..
Dia adalah Sukma Nirmala, siswa kelas XII IPA2 SMA Al Hikmah Surabaya.
Ya.. dia berani mengambil resiko tidak lulus Ujian Nasional untuk tetap mempertahankan kejujurannnya. Dan Subhanallah, dia sangat tegar dan ikhlas menerima semua ini. BAhkan kata-kata dia yang sangat menyentuh " Ketika nanti saya sendiri, tidak ada orang tua, tidak ada teman dan hanya ada Allah, apa yang bisa saya lakukan jika saya berbuat curang?"
Ya Rabb, aku malu padanya. Aku iri padanya. Seakan kenyataan ini menampar sendiri wajahku yang sangat jauh dari tuntutan Mu, Ya Allah..
Semoga dengan kejadian ini, kita bisa mengambil pelajaran yang sangat besar tentang arti kejujuran..

Sabtu, 14 Juni 2008

:: MAWAR ::

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". [QS Al-Israa' : 23 - 24]

"Kasihan anak itu" Ucap seseorang yang sedang berkumpul disuatu rumah dengan nada haru.
"Ya, masih kecil tapi harus memikul beban seperti ini" Tambah seorang lagi. "Semoga dia diberi kesabaran"
Tampak seorang gadis kecil berusia sepuluh sebelas tahunan dengan jilbab biru tua
membungkus wajah lembutnya. Pandangannya tegas menatap sesosok berkain kafan putih yang membujur dihadapannya. Tak ada sepatah katapun yang terucap dan tak ada air mata yang mengalir dipipinya, hanya pandangan kepasrahan yang menghiasi bola matanya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, ternyata dia ditinggal pergi oleh keluarganya" batinku, aku tidak sanggup membuka mulutku walau kupaksa, aku hanya bisa memandang haru kearahnya. Entahlah aku merasa ada sebuah kekuatan dalam cahaya yang terpancar pada wajah anak itu, sebuah ketegaran dan kesabaran yang menyelimuti kecantikannya.
"Dik, saatnya dimakamkan, adik tinggal disini saja sama ibu-ibu dan mbak-mbak disini"
"Tidak, Pak, Ana ikut mengantar ke makam, Ana ingin berbakti untuk yang terakhir kalinya, Pak" suara lembutnya sanggup mengguncang dada ini, suara kedewasaan & kewibawaan yang keluar dari mulutnya, lembut pelan tapi kuat yang membuat orang lain tak bisa menahan keinginannya. "Aku... aku.." tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi ini tanpa sepatah kata yang sempat kuucapkan, keharuan menyelimuti segenap ruang hati ini, yang sanggup menyesakkan. desah nafasku.
"Anak ini ... siapa dia?" tanyaku, aku seperti dekat sekali dengan anak itu.

***

"Wan... bangun Wan, apa kamu gak kerja" Suara Andik yang menggelegar, membuyarkan mimpiku tadi. Ah, kepalaku masih terasa berat, benar-benar masih mengantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh lebih yg membuat rasa kantukku tiba-tiba hilang, Segera kubangunkan tubuh ini yg masih pegal-pegal. Bayangan mimpi itu masih terasa jelas dikepala, bayangan anak itu masih sangat jelas.
"Subhanallah..." batinku, aku tak pernah bermimpi seperti ini, biasanya orang dalam mimpiku adalah tak berwajah atau kabur, namun bayangan wajah, dan suara anak itu masih terasa jelas dikepalaku.

Segera kuambil air wudlu untuk sholat dhuha, untunglah tadi sebelum shubuh sudah mandi untuk menjaga hal-hal seperti ini. Cukuplah air wudlu ini sebagai penyegar dan pembasah muka dan rambut yang kusut. Aktifitasku seharian kemarin benar-benar menguras jam tidur yang membuatku harus menambah jam tidur setelah shubuh tadi.
Hari senin ini kumulai rutinitas kehidupanku yang monoton. Hari-hari yang diisi dengan
pekerjaan yang cukup menyita waktu. Namun bayangan mimpi itu tak bisa hilang seperti
mimpi-mimpi biasanya.
"Ah barangkali ada sesuatu" pikirku, sambil mencoba menerka-nerka kejadian yang akan
menimpaku, "mungkinkah aku akan bertemu dengan anak itu" suara batinku penuh harap.

***
Kupandangi anak-anak jalanan yang masih belia, saat menyusuri jalanan padat kota sepulang kerja. Perempatan jalan adalah ladang ma'isyah bagi mereka. Dengan berbekal tutup coca cola dan suara parau mereka, mencoba menghibur para pengendara, bukan menghibur mungkin, tapi sedikit mengganggu mereka, hanya orang-orang yang merasa kasihan pada mereka yang mau memberikan uang ratusan pada mereka. Mataku masih mencari-cari gadis kecil dalam mimpiku, barangkali saja benar-benar ada dan bisa menemuinya. Harapan yang seakan-akan tidak memiliki harapan.
Malam ini, teman kontrakanku berjumlah komplit, obrolan santai yang bisa mengusir
kepenatan yang timbul dari jam-jam sebelumnya, saat-saat menghibur diri dan bersenda
gurau.
"Mau tahu mimpiku tadi pagi ? mimpi sehabis shubuh tadi ?" tanyaku memaksa pada mereka.
"Nggak" jawab Ali cuek.
"Aku bertemu dengan seorang anak kecil yang cantik, suaranya lembut, ...."
"Wah Wan, masak anak sekecil kamu sikat juga, teganya kamu wan" Timpal Abbas
memotong ceritaku.
"Dengar ceritanya dulu dong, jangan asal motong gitu, ceritanya dia tuh abis kena musibah, keluarganya meninggal. Yang membuatku terkesan adalah anak itu benar-benar beda dengan yang lain, sikapnya sangat dewasa, suaranya penuh dengan kekuatan kewibawaan dan ketegasan, aku sendiri sampai menangis terharu, terus terang aku kagum ama anak itu"
"Wan, Wan, mulai lagi deh kamu, lupa sama mimpi yang pernah kau alami dulu, trus apa
kamu mau mencarinya kayak yang dulu itu, ingat wan itukan hanya mimpi" ucap Andrie
yang menyudutkanku.
"Tapi mimpi ini beda, jarang aku bermimpi senyata ini, wajahnya, suaranya, sikapnya benar-benar nyata, seandainya saja bisa bertemu dengannya"
"Ingat, Wan, mimpimu itu khan disiang hari, biasanya kalau mimpi siang hari itu bukan
hidayah, tapi dari syaitan"
"Trus misal kalo bener-bener ketemu mau kamu apain, Wan, kamu angkat jadi adik, ato jadi anak angkatmu, ato jangan-jangan ... mau kamu jadikan istri, bisa seru nih. he he he" celoteh Ali spontan
"Entahlah...." Pertanyaan itu sempat mengusik hatiku juga,
"apa yang harus aku lakukan jika memang bertemu dengannya, entahlah" kata hatiku.

***
Sebulan telah lewat, aku masih belum bertemu dengan anak itu, bayangan wajahnya pun udah tak tersisa lagi dikepala, aku sudah tidak ingat lagi bagaimana wajahnya, suaranya, hanya sikap kedewasaannya yang masih melekat.
Hari minggu ini kusempatkan untuk mengunjungi yayasan panti asuhan, melihat aktifitas
adik-adik yang memiliki nasib yang sama denganku, yatim piatu. Aku ingat betul betapa
senangnya jika ada orang yang peduli pada kami sewaktu masih di panti asuhan dulu,
kedatangan mereka dengan membawa kasih sayang dan senyuman.
Hingga aku diangkat jadi anak oleh seorang yang baik hati, yang merawatku, mendidikku
hingga menjadi seperti ini namun akhirnya aku ditinggal pergi juga beberapa tahun lalu.
Kebaikan dan ajarannya itulah yang membuatku untuk tidak melupakan anak-anak yatim
piatu.
Mataku masih tertuju dengan seorang gadis kecil berjilbab biru. Tangan-tangan mungilnya merangkai bunga mawar menjadi sebuah rangkaian yang indah. Aku mencoba mengingat benarkah dia mirip dengan mimpiku, mungkin ada kemiripan tapi juga mungkin tidak, aku sudah lupa.
"Mbak, siapa anak itu, Mbak, yang merangkai mawar itu lho" tanyaku pada mbak Yuli,
pengurus yayasan tersebut.
"Oh, itu Mawar"
"Iya yang merangkai mawar itu, siapa namanya, Mbak" tanyaku lagi
"Iya, namanya Mawar, Mawar Az-Zahra"
"Mawar Az-Zahra" ucapku meyakinkan.
"Iya" ucap mbak Yuli sambil tersenyum melihatku.
"Nama yang indah, bunga mawar yang yang indah, seperti anaknya" senyumku pada mbak Yuli.
"Sudah lama Mbak dia disini"
"Ehhm, baru saja kok, sekitar sebulanan yang lalu"
"Ooo, benar seperti dugaanku, boleh Ana kesana, mengobrol dengannya, Mbak"
"Silakan saja, tapi anaknya pendiam, agak pemalu, tapi dia baik kok"
".... Assalamu'alaikum, lagi merangkai bunga ya, Dik Mawar" salamku kepada Mawar
"Wa 'alaikumussalam, iya nanti mau dijual" jawabnya sambil memandangku dan kembali
menunduk, sibuk dengan pekerjaannya.
Deg.. hati ini berdegup, tatapan matanya tadi dan suara lembutnya benar-benar mirip dengan anak dalam mimpiku yang lalu.
"Wah, dik Mawar hebat yah, bisa merangkai bunga seindah ini, bunga mawar lagi, kayak
namanya saja, trus yang jual nanti apa dik Mawar juga"
"Iya, uangnya nanti buat yayasan, Ana gak mau terlalu menjadi beban bagi yayasan ini"
ucapan-ucapannya cukup berkesan, kedewasaannya benar-benar nyata, apakah aku tidak
mimpi lagi, tidak ini benar-benar nyata, dia memang nyata. Dia juga berbeda dengan para
penghuni yang lain, dia lebih memilih merangkai bunga dari pada bermain, atau menonton TV seperti yang lain.
"Boleh Ana beli bunganya Dik, berapa harganya"
"Alhamdulillah, harganya 500 rupiah pertangkai"
"Beli 2 tangkai saja, sekalian dipilihkan yang bagus ya" pintaku sambil menyerahkan uang seribuan padanya.


Dua buah mawar merah muda kuletakkan dikamar, kupandangi terus seakan-akan kulihat
wajah anak itu. Pikiranku mengembara terus membayangkannya, apakah ini suatu pertanda, aku sudah menemukannya sekarang, apa yang harus aku lakukan kepadanya.
Bulan berikutnya aku kembali ke yayasan yatim piatu, aku ingin bertemu lagi dengan anak itu.
"Mbak, dimana Mawar, Mbak, kok tidak kelihatan"
"Ooo, dik Mawar sudah pergi, dua minggu lalu ada orang yang mengangkat menjadi anak"
"Ooo, Alhamdulillah" syukurku, namun aku juga merasa kecewa, hati merasa kehilangan.
Entah perasaan ini kok menjadi seperti ini. Seharusnya aku bahagia, tapi aku benar-benar
merasa kehilangan.
"Diangkat oleh siapa, Mbak, boleh Ana tahu" tanyaku pada mbak Yuli.
"’Afwan, kami tidak bisa memberitahu, insya Allah orang itu baik, dia seorang ustadz"
"Subhanallah, Allahu Akbar, semoga dia mendapatkan kebahagian disana"
Begitu cepatnya perpisahan, aku hanya sekali saja bertemu dengannya, tapi harus berpisah lagi. Padahal seandainya memungkinkan, aku ingin berada terus disisinya, menemaninya, menghiburnya, menyayanginya, aku seperti memiliki ikatan dengan anak itu. Mungkin inilah kehendak Allah yang membuatku harus berpisah dengan anak itu, aku berharap kelak akan bertemu kembali.

***
Tiga tahun telah berlalu dan takdir Allah tak sanggup dirubah siapapun, setahun lalu aku
menyempurnakan agamaku dengan menikahi seorang akhwat yang senasib denganku, seorang yatim piatu yang diangkat anak oleh seorang Ustadz. Alhamdulillah, kehadirannya telah mewarnai kehidupanku dengan kebaikan dan kedekatan terhadap Allah dengan kebahagian yang menghampiri kehidupan kami.
Saat ini setelah setahun lamanya mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, kebahagian yang lain datang, istriku melahirkan seorang anak perempuan. Wajahnya yang lembut dengan mata yang masih belum bisa melihat penuh mampu memberi kesejukan. Sesuai kesepakatan dengan istriku, kuberi nama dia dengan 'Mawar Az-Zahra' sama seperti gadis kecil yang pernah kutemui.
Ujian datang saat Mawar berumur 5 tahun, Ummu Mawar telah mendahuluiku menghadap Illahi, meninggalkanku dengan Mawar sendiri. Kematian adalah takdir Illahi, aku harus tabah menghadapi ini. Istriku meninggal dengan tenang, mewariskan sebuah pesan kepadaku.
"Jagalah Mawar, rawatlah dia dengan benar, jadikanlah dia bunga yang indah, indah
akhlaknya, yang sanggup memberikan kebahagiaan, kesejukan dan keindahan, memiliki
kemulian diri"
Ujian tersebut mengharuskanku melepas pekerjaanku yang terlalu banyak menyita waktu, dan Alhamdulillah seorang teman datang menawarkan pekerjaan thoyyibah yang tidak terlalu banyak menghabiskan waktu, sehingga aku memiliki banyak waktu dengan Mawar.
Tahun-tahun berlalu, kuncup bungaku telah mulai nampak, sifat kedewasaannya sudah mulai tumbuh, mungkin dengan tidak memiliki ibu telah membuatnya belajar untuk menjadi lebih dewasa dari anak seumurnya. Diumur sekecil ini dia harus menanggung beban yang berat. Disaat teman-temannya bermain, Mawar justru sibuk dengan pekerjaan rumahnya, membersihkan rumah, memasak serta merawat taman mawar yang ada di depan rumah.
Sebagai anak satu-satuku, dia amat sangat kusayangi melebihi diri sendiri, namun aku
memang agak sedikit keras padanya terutama masalah ibadah kepada Allah, aku ingin
mendidiknya dengan benar, seperti pesan terakhir mendiang istriku.
"Ah, apakah aku terlalu jahat pada anakku, apa aku terlalu berat memberi beban padanya"
pikiran-pikiran semacam itulah yang sering muncul dibenakku, pikiran sayang seorang Abi kepada bunga hati yang mulai berkembang.

***

"Bi, bangun Bi... sholat malam yuk" ajaknya membangunkanku ditengah kegelapan
menjelang pagi. Tangan lembutnya membelai pipiku, dan kepalanya direbahkan didadaku.
"Mawar sudah bangun, jam berapa sekarang?"
"Sudah jam setengah tiga, Bi, ayo cepetan Bi, ntar keburu shubuh lho, khan rugi nanti"
"Iya terimakasih... tolong tarik tangan Abi ini" sambil kujulurkan tanganku kearahnya.
Tangan mungil anak berusia sembilan tahun menyambutku, terasa sebuah kekuatan yang
dalam mengalir menarik tubuhku, mengajakku sujud kehadapan Illahi. Perbuatan yang sama yang dilakukan Ummu Mawar disaat hidupnya. Sifat-sifat yang dimiliki mirip dengan Ummu.
Bungaku telah mulai tumbuh, menebarkan kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan taman-taman hatiku.
Mukena putihnya tampak bercahaya dibelakangku, wajahnya lembut dengan mata yang
terlihat basah setelah kuselesaikan doaku, suasana hening memaku jiwa. Segera kudekati dan kupeluk dia, rasa sayang yang mengalir dari dadaku.
"Bi, Ana kangen sama Ummi, Ana pengin bertemu Ummi sebennnnnntaaaaar saja, tapi gak bisa ya" ucap Mawar penuh kerinduan.
"Eeemm, bisa saja, tapi gak secara langsung, mau Abi ceritain tentang Ummi, jadi Anti bisa bayangin Ummi itu kayak apa"
"Mau, Bi"
"Ummi itu cantik, wajahnya bulat telur, kulitnya putih, matanya teduh, semua kayak Anti. Juga ramah, lembut, suka menolong, juga sering bangunin Abi buat sholat malam. Bedanya ama Anti apa ya?... kalo Ummi itu tidak cerewet kayak Anti" godaku
"Yah.. Abi, masak Ana cerewet sih"
"Nggak kok, becanda, terus Ummi Mawar itu rajin sholatnya, suka ke tempat yatim piatu,
menghibur mereka, mau Anti Abi ajak ke tempat yatim piatu?"
"Insya Allah, mau, Bi"
"Alhamdulillah, nanti biar Anti itu bisa merasakan nikmatnya masih memiliki Abi, kasihan anak yatim piatu itu, Anti, tidak punya siapa-siapa lagi, Abi dan Ummi ini juga yatim piatu... yang juga pernah hidup dalam panti asuhan, jadi Abi bisa merasakan suka duka mereka, Anti" jelasku lembut pada anakku, "Makanya Anti gak boleh melawan sama Abi, dosa kalo durhaka sama orang tua"
"Bi, boleh tanya?"
"Boleh saja, tanya apa, Anti?"
"Bisa nyeritain gimana Ummi meninggal, Bi"
deg.. pertanyaan itu seperti sebuah mesin waktu yang tak bisa kutahan, kembali kemasa lalu saat Ummu Mawar meninggal. Gambaran-gambaran wajahnya disaat-saat terakhir begitu saja melintas dipelupuk mata, kerinduan yang dalam terhadap mendiang istriku.
"Ummi meninggal karena sakit, Sayang, saat Anti masih kecil, masih 5 tahunan"
"Apa sakitnya gak bisa diobati, Bi ?"
"Setiap penyakit insya Allah ada obatnya, tapi Allah memang ingin segera memanggil ummi, karena Allah sayang sama Ummi. Ummi juga ngasih pesan buat Anti"
"Apa, Bi ?"
"Supaya Anti.. jadi anak yang soleh, patuh sama Allah, patuh sama Abi, supaya Anti jadi
bunga yang indah, indah akhlaknya, berbudi luhur, peduli terhadap orang lemah, Anti mau kan menuruti kata Ummi ?"
"Insya Allah, Bi"
"Anti mau membuat bahagia Ummi dialam sana?"
"Gimana caranya, Bi?"
"Caranya, Anti harus jadi anak yang sholeh, terus ndoain Ummi terus menerus, tahu nggak amalan yang terus mengalir walau orang tersebut sudah meninggal, yaitu doa dari anak yang sholeh, makanya Anti harus jadi anak sholeh, doa anak sholeh insya Allah dikabulkan Allah, mengerti Anti, Anti tadi udah doain Ummi belum ?"
"Udah, Bi"
"Nah, sekarang Abi ngasih tugas buat Anti, ntar Anti coba lihat Al-qur'an surat Al-Israa' ayat 23-24, disitu dijelaskan perilaku seorang anak kepada orang tuanya, gak boleh mengeluh jika disuruh orang tua, juga ada doa buat orang tua, nanti dilihat ya?"
"Insya Allah, Bi"

***
Minggu pagi yang ceria manyambut kami, nasi goreng buatan Mawar tersaji dimeja, bau khas kelezatannya membuat perut semakin lapar.
"Nasi goreng, Bi, cepetan dimakan ya sebelum dingin"
"Alhamdulillah"
"Rasain, Bi ya... enak gak? Kayaknya tadi kebanyakan garam" ucapnya cemas
"Wah... enak, benar-benar enak masakannya, emang pintar anak Abi ini"
Kulahap habis nasi goreng yang sebenarnya memang terlalu asin, wajahnya terus menatapku menghabiskan masakan ini, tatapan harapan penuh dengan kelembutan, tatapan yang mewakili pandangan almarhum istriku. Mawar belajar memasak dari tetangga sebelah, yang kebetulan buka warung, dan dia sering disuruh bantu memasakkannya, tidak heran jika dia pintar memasak.
"Bi, abis ini bantuin Ana ngatur taman ya, bunga mawarnya sudah banyak yang berkembang, Bi, ntar bantu Ana merangkai, buat menghias ruang tamu"
"Iya, boleh"
Taman mawar yang ada didepan rumah menunjukkan keindahan tatkala berkembang. Mawar rajin sekali marawatnya, kecintaannya kepada taman bunga ini benar-benar mendalam.
"Eh, Mawar hari ini ulang tahun kesepuluh ya... mau minta kado apa" ucapku tatkala
membantu Mawar merangkai bunga mawar yang baru dipetik.
"Eh, Bi... terserah Abi, yang penting bisa bermanfaat"

Aku merasa sangat bersyukur terhadap peristiwa sepuluh tahun lalu yang merupakan hari
lahir Mawar, sebagai seorang Abi, tentu hal ini adalah anugerah yang besar.
Setelah mengantar mawar mengaji di TPA, kusempatkan untuk mampir di toko yang menjual jilbab, aku ingin membelikan jilbab untuknya sebagai hadiah ulang tahunnya. Jilbab merah muda warna kesukaannya terbungkus dengan rapi.
"Pak, beli bunga mawarnya, Pak?" tawar seorang anak kecil dengan senyum ramahnya tatkala aku keluar dari toko itu.
"Ehhm, nggak Dik, saya sudah punya banyak bunga di rumah" jawabku ramah.
Nampak wajah kecewa yang tersirat diwajahnya, wajah mungilnya terlihat tegar, namun
senyum yang tersungging nampak dipaksakan. Aku jadi merasa kasihan melihatnya.
"Ehmm, berapaan harganya?" kucoba menghiburnya.
"Dua, dua ribuan, Pak" tampak suara antusiasnya.
"Baiklah, saya beli dua, yang seribu buat adik saja ya, yang warnanya merah satu dan putih satu"
"Makasih, Pak, ini bunganya dua tangkai"
Tampak kecerian yang terpancar dalam setiap garis wajahnya, tangannya yang memegang rangkaian bunga terlihat kokoh, kaki mungilnya perlahan meninggalkanku
untuk mencari pembeli yang lain, aku seperti melihat wajah anakku dalam dirinya.
Mawar merah dan putih masih tergenggam ditanganku saat kukendarai honda Grand, jalan tampak lengang, tidak begitu ramai sehingga tak ada hambatan kukendarai dengan kecepatan diatas 50 Km/jam.
"Awaaassss" teriak seorang Ibu melihat seorang anak menyeberang tanpa menoleh kanan kiri tepat dihadapanku.
Segera kubelokkan setirku kekanan sambil mengurangi kecepatan, syukurlah kemudiku masih dalam kendali. Namun, suara rem mendadak di belakangku dan getaran yang merambat dari arah belakang membuat aku hilang kestabilan hingga sebuah pickup ada tepat didepanku saat aku menyadari apa terjadi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un" teriakku refleks.
Lembaran-lembaran merah dan hitam mulai menutup pandanganku hingga tak terlihat
sesuatupun. Kegelapan yang cukup mencekam, gelap membisu tanpa ada suara. Potongan-potongan gambar kian lama kian membentuk sejauh pandanganku, hingga tampak suatu pemandangan yang tidak asing bagiku. Kulihat rumahku yang sudah dipenuhi orang-orang.
Tampak kulihat wajah-wajah duka yang terpancar dari mereka. Seorang anak gadis kecil yang sedang duduk dihadapan sosok berkain putih yang membujur didepannya. Pandangannya tegas menatap sesosok berkain kafan putih yang membujur dihadapannya. Tak ada sepatah katapun yang terucap dan tak ada air mata yang mengalir dipipinya, hanya pandangan kepasrahan yang menghiasi bola matanya.
"Mawar..." ucapku kepada gadis kecil yang tidak lain anakku, namun tak sepatah katapun
yang sanggup keluar.
"Subhanallah... bukankah ini mimpiku dahulu, ya Allah, tak kusadari bahwa gadis kecil itu adalah anakku sendiri, anakku, Mawar, aku benar-benar tidak tahu" peristiwa selanjutnya sama seperti dimimpiku, hingga mawar pergi mengantar jenazah.
Tampak Mawar semakin menjauh dan menjauh hingga menghilang dari pandanganku, dan bayangan rumahku beserta taman bunga semakin lama semakin pudar dan menjadi gelap. Aku setengah tersadar dari pingsanku tadi, bayangan orang-orang yang mengerumuniku terlihat samar, rasa sakit hampir kurasakan disetiap ruas tubuhku, hanya asma Allah yang sanggup kuucapkan menahan rasa sakit ini, hingga kulihat ada yang mendatangiku, malaikat Izrail.

***
Sayup-sayup kudengar suara lembut yang sejuk mengalir, gambaran seorang gadis mungil dengan mukena putih yang bersimpuh memanjatkan doa terlihat jelas dipelupuk mata,anakku, Mawar.
"Yaa, Allah ...yang Ma..ha .... Pengam..pun lagi ... Mahaaa Pe.. nya yanggg ... hiks hiks hiks" isak tangis anakku tersedu-sedu dalam doanya.
"Ampunilah dosa-dosa .... kedua orang-tuaku.... Hiks ..hiks"
"Bebaskanlah mereka … hiks… hiks ..dari azab-MU, Yaa Allah, hiks hiks"
"Dari siksa neraka.. hiks hiks ...yang tak akan sanggup mereka tanggung yaa Allah.. hiks hiks ..., bebaskanlah mereka dari api neraka ya Allah .. hiks … hiks ..."
"Kasihilah mereka keduanya … hiks … hiks....., sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil ... hiks…hiks…hiks ....." isaknya semakin dalam yang membuat dia terdiam sebentar mencoba menenangkan hati.
"Berikanlah mereka kemuliaan disisimu, Yaa Allah"
"Berikanlah mereka kebahagian yang abadi, Yaa Allah......"
"Yaa Allah..."
"Berikanlah hambamu ini kesabaran dan ketegaran, Yaa Allah"
"Sayangilah hambamu ini, Yaa Allah, sebagai pengganti kasih sayang orang tua hamba yang sudah menghadap-Mu, Yaa Allah"
"Bimbinglah hamba-Mu dalam jalan petunjuk-Mu, Yaa Allah, dan berilah hamba-Mu ini
kekuatan untuk menempuh jalan petunjuk-Mu, Yaa Allah"

……………………………………........................................................................................

"Perasaan apa yang kurasakan saat ini, sebuah kebahagian yang luar biasa, kehangatan,
kesejukan"
"Mawar, setiap lantunan doamu, setiap airmata yang berurai dari mata indahmu, membuat Abi merasakan kebahagiaan, Mawar, hiks hiks" perasaan haru yang menyelimuti diri, tatkala kulihat mata anakku semakin lama semakin deras mengalir. Tangis kebahagian terus menjalar keseluruh tubuh. Suara lembutnya sanggup mengguncang tempatku berada, merontokkan beban-beban yang menghimpit tubuhku.
"Teruskan doamu, Anakku, setiap kali kau berdoa, beban Ayahmu semakin berkurang dan kebahagian semakin bertambah, Anakku, seandainya Abi bisa mengusap air matamu,
memelukmu, akan Abi lakukan, Anakku, hanya saja Abi tidak bisa"
"Anakku, Mawar, tetaplah tegar, dan bersabarlah wahai bunga hatiku, tetaplah kau berada
dalam jalan petunjuk-Nya, insya Allah, Allah akan menolongmu"
Disaat-saat anakku berdoa itulah kurasakan kedamaian, kebahagian, kesejukkan. Tetaplah kau mendoakan kedua orang tuamu, karena dengan itu bisa memberi kami kebahagiaan.

Pentingnya mengelola siklus reproduksi


Saat ini, peran wanita telah bergeser dari peran tradisional menjadi modern. Dari hanya memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak (reproduksi) dan mengurus rumah tangga, kini wanita memiliki peran sosial dimana wanita dapat berkarir dalam bidang ekonomi-sosial-politik dengan didukung pendidikan yang tinggi. Pergeseran peran ini bukanlah suatu hal yang mudah. Secara tradisional, peran wanita seolah dibatasi dan ditempatkan dalam posisi pasif. Wanita hanyalah pendukung karir suami. Peran wanita yang terbatas pada peran reproduksi dan mengurus rumah tangga membuat wanita identik dengan pengabdian kepada suami dan anak. Sementara wanita modern dituntut untuk berpendidikan tinggi, berperan aktif, dan kritis.

Wanita, Peran Ganda, dan Stres

Dalam proses pergeseran ini wanita akan mengalami ambivalensi, yakni dengan timbul pertanyaan dalam diri “Saya harus berpihak pada keluarga atau karir saya?”.

Tuntutan peran ganda wanita tidak dapat dihindari. Selain menjadi ibu rumah tangga, wanita juga dituntut berkompetisi untuk mengembangkan karirnya. Semua ini memerlukan investasi energi. Konsekuensinya, jika wanita kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya terganggu sehingga dapat menimbulkan stres.


Stres yang dimaksud disini adalah stres yang menyebabkan ketegangan/penderitaan psikis. Adapun manifestasi stres pada umumnya yaitu:



  • Gejala depresi: murung, hilang minat, lelah kronis, lamban, pesimis, putus asa, menyalahkan diri, gangguan makan, gangguan tidur sampai ide bunuh diri.

  • Gejala anxietas: mudah cemas, ketakutan, mudah kaget, gelisah, mudah tersinggung, mudah berdebar, keringat dingin, dan gejala hiperotonomik sindrom lain.

“Dibanding pria, prevalensi depresi pada wanita 2 kali lebih tinggi dan upaya percobaan bunuh diri pada wanita 4 kali lebih tinggi, namun tingkat keberhasilan laki-laki bunuh diri 2 kali lebih tinggi dari wanita,” papar dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K) dari Departemen Psikiatri FKUI.


Kenyataannya, wanita lebih rentan mengalami stres. Ada faktor biologis dan psikologis dibalik semua itu.


Faktor biologik:



  • Terkait siklus menstruasi yakni terjadi disregulasi dan fluktuasi hormon estrogen dan progesteron.

  • Perimenopousal syndrome yang dihubungkan dengan estrogen.

  • Depresi pada kehamilan dimana terjadi ketidakseimbangan estrogen-progesteron dan GnRH (Gonadotropine Releasing Hormone) yang tidak efektif.

  • Depresi pasca persalinan dimana estrogen-progesteron-prolaktin dan serotonin tidak efektif.

Faktor psikososial:



  • Kerja keras, kreatif, dan kompetitif untuk mengejar karir.

  • Mengatur rumah, melayani suami, dan mendidik anak.

Siklus Reproduksi dan Kesehatan Jiwa Berikut beberapa permasalahan kesehatan jiwa terkait siklus reproduksi:


Menstruasi



  • PMS (Pre Menstrual Syndrome)PMS terjadi pada 75 persen wanita usia subur. PMS merupakan gejala fisik dan psikologik terkait siklus menstruasi (fase luteal) yang meliputi:
    gejala fisik: letih lemah lesu, sakit kepala, nyeri payudara, sakit perut, kembung, mual, berkeringat, gangguan selera makan, gangguan hasrat seksual.
    gejala psikologis: murung, iritabilitas, anxietas, gangguan konsentrasi, kehilangan minat, gangguan tidur.
    fungsi psikososial relatif baik.

  • PMDD (Pre Menstrual Dysphoric Disorder) PMDD terjadi pada 2-3 persen wanita usia subur. PMDD merupakan gejala fisik dan psikologik terkait siklus menstruasi, namun keluhan fisik dan psikologik lebih banyak dan lebih berat dibanding PMS. Sehingga dapat muncul gejala depresi berat yang menyebabkan gangguan bermakna (kegagalan) dalam fungsi psikososial dan relasi interpersonal. Seringkali membutuhkan pertolongan profesional karena terkadang dibutuhkan obat antidepresan.


Kehamilan



  • Gejala depresi pada kehamilanGejala depresi ringan yang terjadi pada trimester pertama dengan prevalensi 25-35 persen.

  • Post partum bluesMerupakan perubahan mood setelah melahirkan yang dialami oleh sebagian besar wanita. Gejala ringan, tidak mengganggu fungsi psikososial dan akan pulih dalam dua minggu setelah melahirkan. Fungsi pengasuhan anak dan rumah tangga dapat dilakukan dengan benar. Prevalensi 50-80 persen.

  • Post partum depressionSetiap kali melihat bayinya akan sangat merasa bersalah, takut tidak dapat membesarkannya. Terjadi gejala depresi berat. Fungsi psikososial dan relasi interpersonal terganggu berat. Prevalensi 10-20 persen. Butuh pertolongan profesional.

  • Post partum psychosis Gejala psikosis (halusinasi, agresif). Fungsi psikososial dan daya nilai realitas terganggu berat. Kasus yang terjadi hanya sekitar 0,1 persen. Butuh pertolongan profesional.


Menopause



  • Perimenopausal syndromeGejala fisik dan psikologik yang terjadi pada masa perimenopause meliputi keluhan vasomotor (berkeringat di malam hari), gejala muskuloskeletal (atrofi, osteoporosis), gejala emosi dan perilaku (perubahan mood, iritabilitas, insomnia, tegang). Prevalensi 84 persen.

  • Perimenopausal depressionGejala depresi sedang sampai berat. Mengganggu fungsi psikososial dan relasi interpersonal. Prevalensi 15 persen. Butuh pertolongan profesional.


Yang dapat Dilakukan


Wanita modern terkait dengan peran gandanya untuk mengurus keluarga dan mengembangkan karir, perlu senantiasa bugar dan produktif. Perlu langkah tepat untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa terkait siklus reproduksi, yaitu:



  • Mengelola PMS dan PMDD dengan mengenali gejala yang timbul pada saat siklus reproduksi tersebut.

  • Mengatur kehamilan sehingga kehamilan yang terjadi adalah kehamilan yang dipersiapkan.

  • Mempersiapkan menopause sehingga tidak timbul gejala depresi akibat menopause.

Dengan cara non-medis:



  • Charting, yakni mencatat gejala PMS dan PMDD yang terjadi pada hari-hari tertentu dari siklus reproduksi

  • Diet dengan mengurangi garam, coklat, kafein, dan alkohol

  • Olah raga

  • Reduksi stres dengan melakukan konseling

  • Relaksasi dengan melakukan latihan napas

  • Perbaiki hubungan interpersonal

  • Bergabung dalam kelompok diskusi

  • Membaca buku untuk menambah pengetahuan tentang siklus reproduksi

Dengan cara medis (di bawah pengawasan dokter):



  • Vitamin (B6 100-200mg, vitamin E 400IU per hari)

  • Mineral (kalsium, magnesium)

  • Hormonal (agonis GnRH, pil kontrasepsi)

  • Psikofarmakologi (obat antidepresan)


(29/04/2008 - Scientific Medicastore)