Sabtu, 14 Juni 2008

:: MAWAR ::

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". [QS Al-Israa' : 23 - 24]

"Kasihan anak itu" Ucap seseorang yang sedang berkumpul disuatu rumah dengan nada haru.
"Ya, masih kecil tapi harus memikul beban seperti ini" Tambah seorang lagi. "Semoga dia diberi kesabaran"
Tampak seorang gadis kecil berusia sepuluh sebelas tahunan dengan jilbab biru tua
membungkus wajah lembutnya. Pandangannya tegas menatap sesosok berkain kafan putih yang membujur dihadapannya. Tak ada sepatah katapun yang terucap dan tak ada air mata yang mengalir dipipinya, hanya pandangan kepasrahan yang menghiasi bola matanya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, ternyata dia ditinggal pergi oleh keluarganya" batinku, aku tidak sanggup membuka mulutku walau kupaksa, aku hanya bisa memandang haru kearahnya. Entahlah aku merasa ada sebuah kekuatan dalam cahaya yang terpancar pada wajah anak itu, sebuah ketegaran dan kesabaran yang menyelimuti kecantikannya.
"Dik, saatnya dimakamkan, adik tinggal disini saja sama ibu-ibu dan mbak-mbak disini"
"Tidak, Pak, Ana ikut mengantar ke makam, Ana ingin berbakti untuk yang terakhir kalinya, Pak" suara lembutnya sanggup mengguncang dada ini, suara kedewasaan & kewibawaan yang keluar dari mulutnya, lembut pelan tapi kuat yang membuat orang lain tak bisa menahan keinginannya. "Aku... aku.." tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi ini tanpa sepatah kata yang sempat kuucapkan, keharuan menyelimuti segenap ruang hati ini, yang sanggup menyesakkan. desah nafasku.
"Anak ini ... siapa dia?" tanyaku, aku seperti dekat sekali dengan anak itu.

***

"Wan... bangun Wan, apa kamu gak kerja" Suara Andik yang menggelegar, membuyarkan mimpiku tadi. Ah, kepalaku masih terasa berat, benar-benar masih mengantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh lebih yg membuat rasa kantukku tiba-tiba hilang, Segera kubangunkan tubuh ini yg masih pegal-pegal. Bayangan mimpi itu masih terasa jelas dikepala, bayangan anak itu masih sangat jelas.
"Subhanallah..." batinku, aku tak pernah bermimpi seperti ini, biasanya orang dalam mimpiku adalah tak berwajah atau kabur, namun bayangan wajah, dan suara anak itu masih terasa jelas dikepalaku.

Segera kuambil air wudlu untuk sholat dhuha, untunglah tadi sebelum shubuh sudah mandi untuk menjaga hal-hal seperti ini. Cukuplah air wudlu ini sebagai penyegar dan pembasah muka dan rambut yang kusut. Aktifitasku seharian kemarin benar-benar menguras jam tidur yang membuatku harus menambah jam tidur setelah shubuh tadi.
Hari senin ini kumulai rutinitas kehidupanku yang monoton. Hari-hari yang diisi dengan
pekerjaan yang cukup menyita waktu. Namun bayangan mimpi itu tak bisa hilang seperti
mimpi-mimpi biasanya.
"Ah barangkali ada sesuatu" pikirku, sambil mencoba menerka-nerka kejadian yang akan
menimpaku, "mungkinkah aku akan bertemu dengan anak itu" suara batinku penuh harap.

***
Kupandangi anak-anak jalanan yang masih belia, saat menyusuri jalanan padat kota sepulang kerja. Perempatan jalan adalah ladang ma'isyah bagi mereka. Dengan berbekal tutup coca cola dan suara parau mereka, mencoba menghibur para pengendara, bukan menghibur mungkin, tapi sedikit mengganggu mereka, hanya orang-orang yang merasa kasihan pada mereka yang mau memberikan uang ratusan pada mereka. Mataku masih mencari-cari gadis kecil dalam mimpiku, barangkali saja benar-benar ada dan bisa menemuinya. Harapan yang seakan-akan tidak memiliki harapan.
Malam ini, teman kontrakanku berjumlah komplit, obrolan santai yang bisa mengusir
kepenatan yang timbul dari jam-jam sebelumnya, saat-saat menghibur diri dan bersenda
gurau.
"Mau tahu mimpiku tadi pagi ? mimpi sehabis shubuh tadi ?" tanyaku memaksa pada mereka.
"Nggak" jawab Ali cuek.
"Aku bertemu dengan seorang anak kecil yang cantik, suaranya lembut, ...."
"Wah Wan, masak anak sekecil kamu sikat juga, teganya kamu wan" Timpal Abbas
memotong ceritaku.
"Dengar ceritanya dulu dong, jangan asal motong gitu, ceritanya dia tuh abis kena musibah, keluarganya meninggal. Yang membuatku terkesan adalah anak itu benar-benar beda dengan yang lain, sikapnya sangat dewasa, suaranya penuh dengan kekuatan kewibawaan dan ketegasan, aku sendiri sampai menangis terharu, terus terang aku kagum ama anak itu"
"Wan, Wan, mulai lagi deh kamu, lupa sama mimpi yang pernah kau alami dulu, trus apa
kamu mau mencarinya kayak yang dulu itu, ingat wan itukan hanya mimpi" ucap Andrie
yang menyudutkanku.
"Tapi mimpi ini beda, jarang aku bermimpi senyata ini, wajahnya, suaranya, sikapnya benar-benar nyata, seandainya saja bisa bertemu dengannya"
"Ingat, Wan, mimpimu itu khan disiang hari, biasanya kalau mimpi siang hari itu bukan
hidayah, tapi dari syaitan"
"Trus misal kalo bener-bener ketemu mau kamu apain, Wan, kamu angkat jadi adik, ato jadi anak angkatmu, ato jangan-jangan ... mau kamu jadikan istri, bisa seru nih. he he he" celoteh Ali spontan
"Entahlah...." Pertanyaan itu sempat mengusik hatiku juga,
"apa yang harus aku lakukan jika memang bertemu dengannya, entahlah" kata hatiku.

***
Sebulan telah lewat, aku masih belum bertemu dengan anak itu, bayangan wajahnya pun udah tak tersisa lagi dikepala, aku sudah tidak ingat lagi bagaimana wajahnya, suaranya, hanya sikap kedewasaannya yang masih melekat.
Hari minggu ini kusempatkan untuk mengunjungi yayasan panti asuhan, melihat aktifitas
adik-adik yang memiliki nasib yang sama denganku, yatim piatu. Aku ingat betul betapa
senangnya jika ada orang yang peduli pada kami sewaktu masih di panti asuhan dulu,
kedatangan mereka dengan membawa kasih sayang dan senyuman.
Hingga aku diangkat jadi anak oleh seorang yang baik hati, yang merawatku, mendidikku
hingga menjadi seperti ini namun akhirnya aku ditinggal pergi juga beberapa tahun lalu.
Kebaikan dan ajarannya itulah yang membuatku untuk tidak melupakan anak-anak yatim
piatu.
Mataku masih tertuju dengan seorang gadis kecil berjilbab biru. Tangan-tangan mungilnya merangkai bunga mawar menjadi sebuah rangkaian yang indah. Aku mencoba mengingat benarkah dia mirip dengan mimpiku, mungkin ada kemiripan tapi juga mungkin tidak, aku sudah lupa.
"Mbak, siapa anak itu, Mbak, yang merangkai mawar itu lho" tanyaku pada mbak Yuli,
pengurus yayasan tersebut.
"Oh, itu Mawar"
"Iya yang merangkai mawar itu, siapa namanya, Mbak" tanyaku lagi
"Iya, namanya Mawar, Mawar Az-Zahra"
"Mawar Az-Zahra" ucapku meyakinkan.
"Iya" ucap mbak Yuli sambil tersenyum melihatku.
"Nama yang indah, bunga mawar yang yang indah, seperti anaknya" senyumku pada mbak Yuli.
"Sudah lama Mbak dia disini"
"Ehhm, baru saja kok, sekitar sebulanan yang lalu"
"Ooo, benar seperti dugaanku, boleh Ana kesana, mengobrol dengannya, Mbak"
"Silakan saja, tapi anaknya pendiam, agak pemalu, tapi dia baik kok"
".... Assalamu'alaikum, lagi merangkai bunga ya, Dik Mawar" salamku kepada Mawar
"Wa 'alaikumussalam, iya nanti mau dijual" jawabnya sambil memandangku dan kembali
menunduk, sibuk dengan pekerjaannya.
Deg.. hati ini berdegup, tatapan matanya tadi dan suara lembutnya benar-benar mirip dengan anak dalam mimpiku yang lalu.
"Wah, dik Mawar hebat yah, bisa merangkai bunga seindah ini, bunga mawar lagi, kayak
namanya saja, trus yang jual nanti apa dik Mawar juga"
"Iya, uangnya nanti buat yayasan, Ana gak mau terlalu menjadi beban bagi yayasan ini"
ucapan-ucapannya cukup berkesan, kedewasaannya benar-benar nyata, apakah aku tidak
mimpi lagi, tidak ini benar-benar nyata, dia memang nyata. Dia juga berbeda dengan para
penghuni yang lain, dia lebih memilih merangkai bunga dari pada bermain, atau menonton TV seperti yang lain.
"Boleh Ana beli bunganya Dik, berapa harganya"
"Alhamdulillah, harganya 500 rupiah pertangkai"
"Beli 2 tangkai saja, sekalian dipilihkan yang bagus ya" pintaku sambil menyerahkan uang seribuan padanya.


Dua buah mawar merah muda kuletakkan dikamar, kupandangi terus seakan-akan kulihat
wajah anak itu. Pikiranku mengembara terus membayangkannya, apakah ini suatu pertanda, aku sudah menemukannya sekarang, apa yang harus aku lakukan kepadanya.
Bulan berikutnya aku kembali ke yayasan yatim piatu, aku ingin bertemu lagi dengan anak itu.
"Mbak, dimana Mawar, Mbak, kok tidak kelihatan"
"Ooo, dik Mawar sudah pergi, dua minggu lalu ada orang yang mengangkat menjadi anak"
"Ooo, Alhamdulillah" syukurku, namun aku juga merasa kecewa, hati merasa kehilangan.
Entah perasaan ini kok menjadi seperti ini. Seharusnya aku bahagia, tapi aku benar-benar
merasa kehilangan.
"Diangkat oleh siapa, Mbak, boleh Ana tahu" tanyaku pada mbak Yuli.
"’Afwan, kami tidak bisa memberitahu, insya Allah orang itu baik, dia seorang ustadz"
"Subhanallah, Allahu Akbar, semoga dia mendapatkan kebahagian disana"
Begitu cepatnya perpisahan, aku hanya sekali saja bertemu dengannya, tapi harus berpisah lagi. Padahal seandainya memungkinkan, aku ingin berada terus disisinya, menemaninya, menghiburnya, menyayanginya, aku seperti memiliki ikatan dengan anak itu. Mungkin inilah kehendak Allah yang membuatku harus berpisah dengan anak itu, aku berharap kelak akan bertemu kembali.

***
Tiga tahun telah berlalu dan takdir Allah tak sanggup dirubah siapapun, setahun lalu aku
menyempurnakan agamaku dengan menikahi seorang akhwat yang senasib denganku, seorang yatim piatu yang diangkat anak oleh seorang Ustadz. Alhamdulillah, kehadirannya telah mewarnai kehidupanku dengan kebaikan dan kedekatan terhadap Allah dengan kebahagian yang menghampiri kehidupan kami.
Saat ini setelah setahun lamanya mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, kebahagian yang lain datang, istriku melahirkan seorang anak perempuan. Wajahnya yang lembut dengan mata yang masih belum bisa melihat penuh mampu memberi kesejukan. Sesuai kesepakatan dengan istriku, kuberi nama dia dengan 'Mawar Az-Zahra' sama seperti gadis kecil yang pernah kutemui.
Ujian datang saat Mawar berumur 5 tahun, Ummu Mawar telah mendahuluiku menghadap Illahi, meninggalkanku dengan Mawar sendiri. Kematian adalah takdir Illahi, aku harus tabah menghadapi ini. Istriku meninggal dengan tenang, mewariskan sebuah pesan kepadaku.
"Jagalah Mawar, rawatlah dia dengan benar, jadikanlah dia bunga yang indah, indah
akhlaknya, yang sanggup memberikan kebahagiaan, kesejukan dan keindahan, memiliki
kemulian diri"
Ujian tersebut mengharuskanku melepas pekerjaanku yang terlalu banyak menyita waktu, dan Alhamdulillah seorang teman datang menawarkan pekerjaan thoyyibah yang tidak terlalu banyak menghabiskan waktu, sehingga aku memiliki banyak waktu dengan Mawar.
Tahun-tahun berlalu, kuncup bungaku telah mulai nampak, sifat kedewasaannya sudah mulai tumbuh, mungkin dengan tidak memiliki ibu telah membuatnya belajar untuk menjadi lebih dewasa dari anak seumurnya. Diumur sekecil ini dia harus menanggung beban yang berat. Disaat teman-temannya bermain, Mawar justru sibuk dengan pekerjaan rumahnya, membersihkan rumah, memasak serta merawat taman mawar yang ada di depan rumah.
Sebagai anak satu-satuku, dia amat sangat kusayangi melebihi diri sendiri, namun aku
memang agak sedikit keras padanya terutama masalah ibadah kepada Allah, aku ingin
mendidiknya dengan benar, seperti pesan terakhir mendiang istriku.
"Ah, apakah aku terlalu jahat pada anakku, apa aku terlalu berat memberi beban padanya"
pikiran-pikiran semacam itulah yang sering muncul dibenakku, pikiran sayang seorang Abi kepada bunga hati yang mulai berkembang.

***

"Bi, bangun Bi... sholat malam yuk" ajaknya membangunkanku ditengah kegelapan
menjelang pagi. Tangan lembutnya membelai pipiku, dan kepalanya direbahkan didadaku.
"Mawar sudah bangun, jam berapa sekarang?"
"Sudah jam setengah tiga, Bi, ayo cepetan Bi, ntar keburu shubuh lho, khan rugi nanti"
"Iya terimakasih... tolong tarik tangan Abi ini" sambil kujulurkan tanganku kearahnya.
Tangan mungil anak berusia sembilan tahun menyambutku, terasa sebuah kekuatan yang
dalam mengalir menarik tubuhku, mengajakku sujud kehadapan Illahi. Perbuatan yang sama yang dilakukan Ummu Mawar disaat hidupnya. Sifat-sifat yang dimiliki mirip dengan Ummu.
Bungaku telah mulai tumbuh, menebarkan kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan taman-taman hatiku.
Mukena putihnya tampak bercahaya dibelakangku, wajahnya lembut dengan mata yang
terlihat basah setelah kuselesaikan doaku, suasana hening memaku jiwa. Segera kudekati dan kupeluk dia, rasa sayang yang mengalir dari dadaku.
"Bi, Ana kangen sama Ummi, Ana pengin bertemu Ummi sebennnnnntaaaaar saja, tapi gak bisa ya" ucap Mawar penuh kerinduan.
"Eeemm, bisa saja, tapi gak secara langsung, mau Abi ceritain tentang Ummi, jadi Anti bisa bayangin Ummi itu kayak apa"
"Mau, Bi"
"Ummi itu cantik, wajahnya bulat telur, kulitnya putih, matanya teduh, semua kayak Anti. Juga ramah, lembut, suka menolong, juga sering bangunin Abi buat sholat malam. Bedanya ama Anti apa ya?... kalo Ummi itu tidak cerewet kayak Anti" godaku
"Yah.. Abi, masak Ana cerewet sih"
"Nggak kok, becanda, terus Ummi Mawar itu rajin sholatnya, suka ke tempat yatim piatu,
menghibur mereka, mau Anti Abi ajak ke tempat yatim piatu?"
"Insya Allah, mau, Bi"
"Alhamdulillah, nanti biar Anti itu bisa merasakan nikmatnya masih memiliki Abi, kasihan anak yatim piatu itu, Anti, tidak punya siapa-siapa lagi, Abi dan Ummi ini juga yatim piatu... yang juga pernah hidup dalam panti asuhan, jadi Abi bisa merasakan suka duka mereka, Anti" jelasku lembut pada anakku, "Makanya Anti gak boleh melawan sama Abi, dosa kalo durhaka sama orang tua"
"Bi, boleh tanya?"
"Boleh saja, tanya apa, Anti?"
"Bisa nyeritain gimana Ummi meninggal, Bi"
deg.. pertanyaan itu seperti sebuah mesin waktu yang tak bisa kutahan, kembali kemasa lalu saat Ummu Mawar meninggal. Gambaran-gambaran wajahnya disaat-saat terakhir begitu saja melintas dipelupuk mata, kerinduan yang dalam terhadap mendiang istriku.
"Ummi meninggal karena sakit, Sayang, saat Anti masih kecil, masih 5 tahunan"
"Apa sakitnya gak bisa diobati, Bi ?"
"Setiap penyakit insya Allah ada obatnya, tapi Allah memang ingin segera memanggil ummi, karena Allah sayang sama Ummi. Ummi juga ngasih pesan buat Anti"
"Apa, Bi ?"
"Supaya Anti.. jadi anak yang soleh, patuh sama Allah, patuh sama Abi, supaya Anti jadi
bunga yang indah, indah akhlaknya, berbudi luhur, peduli terhadap orang lemah, Anti mau kan menuruti kata Ummi ?"
"Insya Allah, Bi"
"Anti mau membuat bahagia Ummi dialam sana?"
"Gimana caranya, Bi?"
"Caranya, Anti harus jadi anak yang sholeh, terus ndoain Ummi terus menerus, tahu nggak amalan yang terus mengalir walau orang tersebut sudah meninggal, yaitu doa dari anak yang sholeh, makanya Anti harus jadi anak sholeh, doa anak sholeh insya Allah dikabulkan Allah, mengerti Anti, Anti tadi udah doain Ummi belum ?"
"Udah, Bi"
"Nah, sekarang Abi ngasih tugas buat Anti, ntar Anti coba lihat Al-qur'an surat Al-Israa' ayat 23-24, disitu dijelaskan perilaku seorang anak kepada orang tuanya, gak boleh mengeluh jika disuruh orang tua, juga ada doa buat orang tua, nanti dilihat ya?"
"Insya Allah, Bi"

***
Minggu pagi yang ceria manyambut kami, nasi goreng buatan Mawar tersaji dimeja, bau khas kelezatannya membuat perut semakin lapar.
"Nasi goreng, Bi, cepetan dimakan ya sebelum dingin"
"Alhamdulillah"
"Rasain, Bi ya... enak gak? Kayaknya tadi kebanyakan garam" ucapnya cemas
"Wah... enak, benar-benar enak masakannya, emang pintar anak Abi ini"
Kulahap habis nasi goreng yang sebenarnya memang terlalu asin, wajahnya terus menatapku menghabiskan masakan ini, tatapan harapan penuh dengan kelembutan, tatapan yang mewakili pandangan almarhum istriku. Mawar belajar memasak dari tetangga sebelah, yang kebetulan buka warung, dan dia sering disuruh bantu memasakkannya, tidak heran jika dia pintar memasak.
"Bi, abis ini bantuin Ana ngatur taman ya, bunga mawarnya sudah banyak yang berkembang, Bi, ntar bantu Ana merangkai, buat menghias ruang tamu"
"Iya, boleh"
Taman mawar yang ada didepan rumah menunjukkan keindahan tatkala berkembang. Mawar rajin sekali marawatnya, kecintaannya kepada taman bunga ini benar-benar mendalam.
"Eh, Mawar hari ini ulang tahun kesepuluh ya... mau minta kado apa" ucapku tatkala
membantu Mawar merangkai bunga mawar yang baru dipetik.
"Eh, Bi... terserah Abi, yang penting bisa bermanfaat"

Aku merasa sangat bersyukur terhadap peristiwa sepuluh tahun lalu yang merupakan hari
lahir Mawar, sebagai seorang Abi, tentu hal ini adalah anugerah yang besar.
Setelah mengantar mawar mengaji di TPA, kusempatkan untuk mampir di toko yang menjual jilbab, aku ingin membelikan jilbab untuknya sebagai hadiah ulang tahunnya. Jilbab merah muda warna kesukaannya terbungkus dengan rapi.
"Pak, beli bunga mawarnya, Pak?" tawar seorang anak kecil dengan senyum ramahnya tatkala aku keluar dari toko itu.
"Ehhm, nggak Dik, saya sudah punya banyak bunga di rumah" jawabku ramah.
Nampak wajah kecewa yang tersirat diwajahnya, wajah mungilnya terlihat tegar, namun
senyum yang tersungging nampak dipaksakan. Aku jadi merasa kasihan melihatnya.
"Ehmm, berapaan harganya?" kucoba menghiburnya.
"Dua, dua ribuan, Pak" tampak suara antusiasnya.
"Baiklah, saya beli dua, yang seribu buat adik saja ya, yang warnanya merah satu dan putih satu"
"Makasih, Pak, ini bunganya dua tangkai"
Tampak kecerian yang terpancar dalam setiap garis wajahnya, tangannya yang memegang rangkaian bunga terlihat kokoh, kaki mungilnya perlahan meninggalkanku
untuk mencari pembeli yang lain, aku seperti melihat wajah anakku dalam dirinya.
Mawar merah dan putih masih tergenggam ditanganku saat kukendarai honda Grand, jalan tampak lengang, tidak begitu ramai sehingga tak ada hambatan kukendarai dengan kecepatan diatas 50 Km/jam.
"Awaaassss" teriak seorang Ibu melihat seorang anak menyeberang tanpa menoleh kanan kiri tepat dihadapanku.
Segera kubelokkan setirku kekanan sambil mengurangi kecepatan, syukurlah kemudiku masih dalam kendali. Namun, suara rem mendadak di belakangku dan getaran yang merambat dari arah belakang membuat aku hilang kestabilan hingga sebuah pickup ada tepat didepanku saat aku menyadari apa terjadi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un" teriakku refleks.
Lembaran-lembaran merah dan hitam mulai menutup pandanganku hingga tak terlihat
sesuatupun. Kegelapan yang cukup mencekam, gelap membisu tanpa ada suara. Potongan-potongan gambar kian lama kian membentuk sejauh pandanganku, hingga tampak suatu pemandangan yang tidak asing bagiku. Kulihat rumahku yang sudah dipenuhi orang-orang.
Tampak kulihat wajah-wajah duka yang terpancar dari mereka. Seorang anak gadis kecil yang sedang duduk dihadapan sosok berkain putih yang membujur didepannya. Pandangannya tegas menatap sesosok berkain kafan putih yang membujur dihadapannya. Tak ada sepatah katapun yang terucap dan tak ada air mata yang mengalir dipipinya, hanya pandangan kepasrahan yang menghiasi bola matanya.
"Mawar..." ucapku kepada gadis kecil yang tidak lain anakku, namun tak sepatah katapun
yang sanggup keluar.
"Subhanallah... bukankah ini mimpiku dahulu, ya Allah, tak kusadari bahwa gadis kecil itu adalah anakku sendiri, anakku, Mawar, aku benar-benar tidak tahu" peristiwa selanjutnya sama seperti dimimpiku, hingga mawar pergi mengantar jenazah.
Tampak Mawar semakin menjauh dan menjauh hingga menghilang dari pandanganku, dan bayangan rumahku beserta taman bunga semakin lama semakin pudar dan menjadi gelap. Aku setengah tersadar dari pingsanku tadi, bayangan orang-orang yang mengerumuniku terlihat samar, rasa sakit hampir kurasakan disetiap ruas tubuhku, hanya asma Allah yang sanggup kuucapkan menahan rasa sakit ini, hingga kulihat ada yang mendatangiku, malaikat Izrail.

***
Sayup-sayup kudengar suara lembut yang sejuk mengalir, gambaran seorang gadis mungil dengan mukena putih yang bersimpuh memanjatkan doa terlihat jelas dipelupuk mata,anakku, Mawar.
"Yaa, Allah ...yang Ma..ha .... Pengam..pun lagi ... Mahaaa Pe.. nya yanggg ... hiks hiks hiks" isak tangis anakku tersedu-sedu dalam doanya.
"Ampunilah dosa-dosa .... kedua orang-tuaku.... Hiks ..hiks"
"Bebaskanlah mereka … hiks… hiks ..dari azab-MU, Yaa Allah, hiks hiks"
"Dari siksa neraka.. hiks hiks ...yang tak akan sanggup mereka tanggung yaa Allah.. hiks hiks ..., bebaskanlah mereka dari api neraka ya Allah .. hiks … hiks ..."
"Kasihilah mereka keduanya … hiks … hiks....., sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil ... hiks…hiks…hiks ....." isaknya semakin dalam yang membuat dia terdiam sebentar mencoba menenangkan hati.
"Berikanlah mereka kemuliaan disisimu, Yaa Allah"
"Berikanlah mereka kebahagian yang abadi, Yaa Allah......"
"Yaa Allah..."
"Berikanlah hambamu ini kesabaran dan ketegaran, Yaa Allah"
"Sayangilah hambamu ini, Yaa Allah, sebagai pengganti kasih sayang orang tua hamba yang sudah menghadap-Mu, Yaa Allah"
"Bimbinglah hamba-Mu dalam jalan petunjuk-Mu, Yaa Allah, dan berilah hamba-Mu ini
kekuatan untuk menempuh jalan petunjuk-Mu, Yaa Allah"

……………………………………........................................................................................

"Perasaan apa yang kurasakan saat ini, sebuah kebahagian yang luar biasa, kehangatan,
kesejukan"
"Mawar, setiap lantunan doamu, setiap airmata yang berurai dari mata indahmu, membuat Abi merasakan kebahagiaan, Mawar, hiks hiks" perasaan haru yang menyelimuti diri, tatkala kulihat mata anakku semakin lama semakin deras mengalir. Tangis kebahagian terus menjalar keseluruh tubuh. Suara lembutnya sanggup mengguncang tempatku berada, merontokkan beban-beban yang menghimpit tubuhku.
"Teruskan doamu, Anakku, setiap kali kau berdoa, beban Ayahmu semakin berkurang dan kebahagian semakin bertambah, Anakku, seandainya Abi bisa mengusap air matamu,
memelukmu, akan Abi lakukan, Anakku, hanya saja Abi tidak bisa"
"Anakku, Mawar, tetaplah tegar, dan bersabarlah wahai bunga hatiku, tetaplah kau berada
dalam jalan petunjuk-Nya, insya Allah, Allah akan menolongmu"
Disaat-saat anakku berdoa itulah kurasakan kedamaian, kebahagian, kesejukkan. Tetaplah kau mendoakan kedua orang tuamu, karena dengan itu bisa memberi kami kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar